Get my banner code or create your own banner

Go Blog!!!

The journey of a thousand miles begins with one step - Lao Tzu (600 BC-531 BC)

Wednesday, June 27, 2007

Lagi-lagi...

Kisruh moda transportasi kembali terjadi lagi di ibukota. Kali ini pengguna mobil pribadi sebagai konsumen jalan raya menjadi korban pertikaian antara Dinas Perhubungan DKI Jakarta dan Polisi. Tidak perlu kembali diceritakan detil kejadian yang terjadi tanggal 25 Juni yang lalu. Yang pasti, semua pihak kemudian saling menyalahkan. Polisi menyalahkan Dishub, Dishub menyalahkan pengguna mobil pribadi, dan pengguna mobil pribadi menyalahkan keduanya.

Sebagian orang kemudian kembali mempersoalkan pembangunan jalur bus khusus (baca: busway) yang selalu menuai kontroversi, bahkan jauh sebelum dibangun. Busway kerap dituding memperparah kemacetan karena dibangun dengan mengambil lajur yang sebelumnya telah ada, bukan menambah lajur baru. Saat ini saja kendaraan pribadi di Jakarta mencapai 4,5 juta, belum ditambah sekitar 600.000 kendaraan komuter di jam-jam sibuk yang datang dan pergi dari dan ke daerah satelit Jakarta (Bekasi, Bogor, Tangerang, Depok, dsb).

Kembali ke kontroversi Busway, sangat menarik diskursus yang berkembang dalam menyikapi pro kontra “produk” Bang Yos ini. Satu pihak setuju dengan alasan Polisi memperbolehkan kendaraan pribadi melintasi lajur Busway, lain pihak membela Dishub dengan mengatakan bahwa kalau tidak mau macet, ya gunakan Transjakarta.

Namun ada satu hal yang menggelitik benak, yaitu yang mengatakan bahwa sebagai pengguna kendaraan pribadi, yang rutin membayar pajak kendaraan bermotor, selayaknyalah mendapatkan fasilitas berupa penggunaan lajur jalanan ibukota. Menurut saya ini merupakan buah “orde baru” yang kita petik hari ini, yaitu “asal bayar” seluruh jalan pintas boleh kita pakai. Sama seperti pengguna jalan tol yang -- karena merasa sudah bayar -- tak pernah kapok mendahului kendaraan lain dari bahu jalan.

Pajak atas kendaraan bermotor semata-mata dilihat sebagai prasyarat atas hak penggunaan dan penguasaan penuh kendaraan yang kita miliki, sehingga pengguna kendaraan pribadi merasa berhak menggunakan setiap milimeter jalanan ibukota, beraspal maupun tidak.

Pajak atas kendaraan bermotor belum dilihat sebagai bentuk pembatasan Pemerintah akan laju pertumbuhan penjualan kendaraan bermotor. Faktanya, saat ini tingkat pertumbuhan penjualan mobil baru di Jakarta per hari (baca: 1 x 24 jam!) mencapai sekitar 300 mobil atau dengan hitungan kasar 109.500 mobil per tahun. Seperti dikutip dari Pusat Data & Analisa Tempo berdasar penelitian yang pernah dilakukan Japan International Corporation Agency (JICA) dan The Institute for Transportation and Development Policy (ITDP), pertumbuhan kendaraan di Jakarta rata-rata per tahun mencapai 11% sedangkan pertumbuhan panjang jalan tak mencapai 1%!

Di Indonesia, pajak atas pembelian mobil baru hanya sebesar 21,5%. Sebagai bahan pembanding, di Australia pajak atas mobil baru berkisar antara 22 - 45%, tergantung tipe mobil. Sungguh suatu angka yang tentu akan membuat siapapun berpikir seribu kali untuk membeli mobil baru. Asumsinya, dengan jumlah pajak yang sangat besar yang harus dibayar, warga Australia seharusnya berhak atas penggunaan jalan raya yang lebih besar. Nyatanya, warga Melbourne (I was there once) tetap lebih memilih tram / kereta / bus sebagai moda transportasi sehari-hari. Warga Melbourne tidak mengeluh karena sebagian jalan untuk kendaraan pribadi mereka tergusur oleh jalur tram.

Memang naif jika membandingkan kualitas moda transportasi di luar sana dengan di Jakarta. Namun hendaknya kita tidak semata-mata menyalahkan Busway yang sudah “terlanjur” jadi ini. Jika dikatakan bus Transjakarta tidak pernah on-time dan frekwensi kedatangannya kacau, mungkin perlu ditinjau apakah ada lajur yang “mampet” akibat kendaraan pribadi yang masuk lajur Busway?

Meskipun saat ini saya masih berstatus pengguna kendaraan pribadi yang setiap hari menghabiskan waktu minimal 3 jam di jalan (a.k.a 45 hari per tahun), saya merasa tidak punya pilihan lain untuk menyambangi kantor. Saya hanya bisa berharap rencana integrasi Busway dengan daerah satelit Bogor Tangerang Bekasi dapat segera direalisasikan bersamaan dengan rampungnya ke-15 lajur Busway. Jika hal itu terjadi, tanpa ragu saya akan beralih menggunakan transportasi umum.




Read more!

Wednesday, June 13, 2007

The Story Behind My Name...

AIRLANGGA


The famous 'Calcutta Stone', dating from A.D. 1041, describes a terrible calamity which befell the East Javanese kingdom of Isana in the early years of the 11th century. A rebellion incited by a jealous vassal king resulted in the destruction of the capital of Watugaluh. The reigning king, Dharmawangsa, successor to Sri Makutawangsawardhana, was murdered along with his entire family. Only the young Airlangga, who was aged about 16 at the time, managed to escape unharmed.

After spending three or four years in the safety of a forest retreat, Airlangga, as the closest surviving relative to Dharmawangsa, emerged to take over the throne in about 1020. The early part of his reign was spent putting down rebellions and securing the borders of his kingdom. Among his successful military campaigns were those against King Wishnuprabhawa of Wuratan, King Wijaya of Wengker, as well as the subjugation of a powerful queen in the south. In 1032 Airlangga attacked and defeated the ruler of Wurawari, who is believed to have been responsible for the earlier destruction of the old capital of Isana.By the end of Airlangga's reign, in the mid 11th century, the kingdom which he had established is believed to have stretched from Pasuruan in the east, to present day Madiun in the west.

Although there are few surviving archaeological remains dating from his time, Airlangga is known to have been a keen patron of the arts, notably literature. In around 1035, the court poet Mpu Kanwa produced the Arjuna Wiwaha, which has to this day remained one of Java's most popular classical stories. Adapted from the Indian Mahabharata epic, the poem recounts episodes in the life of the hero sage Arjuna, who was an incarnation of the Hindu god Wishnu. There are reasons to believe that the poem was a portrait of the life of Airlangga himself. He, like Arjuna, was seen as a divine incarnation, apparently laid to rest at Candi Belahan, where he was portrayed in stone as Wishnu on Garuda.

Towards the end of his life, Airlangga was faced with the problem of succession. The rightful heir, the princess Sanggramawijaya, refused the throne, preferring to live her life as a hermit. She is traditionally associated with the legend of Dewi Kilisuci and the cave of Selomangleng at Kediri.

Airlangga's realm was, as a result, eventually divided between two of his sons, giving rise to the separate kingdoms of Janggala and Kediri. It was Kediri, however, which was to become the dominant power until the rise of Singosari in the early 13th century.


Read more!

Thursday, June 07, 2007

The Great Escape: 1 Night in Danau Toba

1 Week before - Rutinitas bekerja dapat membuat para kaum pekerja kantoran di Jakarta merasa cepat lelah, tak ada motivasi bekerja, dan kehabisan ide-ide segar setiap harinya. Ketika itu masih bulan Mei, tak sengaja terlihat kalender bulan Juni dengan tanggal merah jatuh di hari Jumat, 1 Juni 2007. Oleh sebab itulah saya segera menyambar kesempatan liburan yang di depan mata. Tiket pesawat langsung dipesan secara on-line, hotel di Danau Toba segera di-”amankan”, dan moda transportasi dipersiapkan.

Jumat, 1 Juni 2007

06.00 - Berangkat dari Soekarno-Hatta International Airport, Jakarta

07.30 - Adrenalin untuk merasakan naturalitas kekayaan alam bumi pertiwi memuncak ketika pilot dengan sengaja mengarahkan penerbangan ke sebelah timur Danau Toba, dan dari jendela pesawat terlihatlah hamparan air yang sangat luas yang mengelilingi Pulau Samosir dibalut kabut pagi yang menyelimuti jajaran pegunungan Bukit Barisan.


08.15
- Menginjakkan kaki di Polonia International Airport, Medan. Mobil sewaan lengkap dengan driver, Pak Pardosi Siagian, telah menanti di gerbang kedatangan di Polonia. Perut pun sontak berkeroncong, maklum, tidak sempat sarapan sejak pagi. Tujuan utama di kota Medan, sarapan!

08.30 - Kami pun meluncur menuju restoran yang menjual makanan kari ayam bihun, di perempatan Jl. Mangkubumi. Rasa gurih dan aroma kari yang kental membalut kelembutan bihun dan daging ayam kampung terasa sangat nikmat di lidah di pagi itu. Minumnya, es Badak, minuman sarsaparila bersoda khas Medan mampu menyegarkan rasa kantuk ketika harus bangun pagi untuk menuju ke Bandara lima jam sebelumnya.


10.00
- Tanpa membuang waktu, kami langsung berangkat ke Danau Toba. Tanjung Morawa, Lubuk Pakam, Perbaungan, Bengkel, Tebing Tinggi kami lalui dengan mengobrol sepanjang perjalanan.

12.30 - Menjelang masuk kota Pematang Siantar, kami memutuskan untuk singgah mengisi perut di sebuah restoran yang menyajikan makanan khas burung puyuh goreng. Lezat? Ah, itu sih tak perlu dipertanyakan. Dijamin ketagihan!

13.30 - Tanpa membuang waktu, perjalanan kembali dilanjutkan. Sekitar 15 km menjelang sampai di kota Parapat – kota di pinggir Danau Toba – keelokan danau ini menyergap di kejauhan. Meskipun sudah lima kali berkunjung ke danau ini, selalu ada perasaan takjub, terkesima tak berkesudahan ketika menyaksikan panorama Danau Toba yang di-klaim sebagai danau terluas di Asia Tenggara. Tak sabar rasanya kaki ini ingin menjejakkan diri di tepian danau yang anggun tersebut.


15.00
- Kami tiba di Parapat tepat ketika Ferry KMP Tao Toba II masih berjarak selemparan batu. Untuk menunggu Ferry KMP Tao Toba II berikutnya yang akan menyeberangkan kami ke Pulau Samosir pada pukul 17.30, kami memutuskan untuk sejenak melihat-lihat ke toko cideramata yang ada di kota Parapat.

17.30 - KMP Tao Toba II perlahan tapi pasti mulai bergerak dari pelabuhan Ajibata ke arah barat untuk menuju pelabuhan Tomok di Pulau Samosir. Penyeberangan memakan waktu sekitar 45 menit, namun pemandangan yang disuguhkan benar-benar mampu membuai siapapaun yang tengah berada di atas kapal saat itu. Temaram sinar matahari terbenam di ufuk barat menambah suasana dramatis penyebrangan kali itu. Kapal angkut penumpang orang yang mendahului ferry kami menjadi objek empuk kamera saku Sony Cybershot yang selalu setia menemani.


18.30
- KMP Tao Toba II (Tao = danau, red) merapat di dermaga Tomok, Kabupaten Samosir. Sekitar 40-an kendaraan yang diangkut bergerak perlahan keluar dari perut ferry, kebanyakan langsung mengarah ke kawasan Tuk Tuk, pusat pariwisata di Pulau Samosir. 9 tahun sejak terakhir menginjakkan kaki di pulau ini, kemajuan sangat terasa dengan melihat sarana akomodasi (penginapan, restoran) yang menjamur a la kawasan pariwisata di pulau Bali. Lebih dari 40 lokasi penginapan bertebaran di sepanjang jalan lintas Tuk Tuk, diselingi sejumlah restoran dan café yang menawarkan suasana hutan hujan tropis dan menyajikan segala makanan, mulai dari western food, chinese food, makanan khas Batak, hingga makanan bagi kaum muslim.

19.00 - Penginapan yang kami pilih adalah Hotel Toledo Inn 2. Kamar yang kami tempati berukuran besar, sekitar 4x6 m dengan kamar mandi dalam. Tak tersedia televisi di dalam kamar..well, siapa yang butuh menonton TV kalau memang tujuan kita berlibur adalah melarikan diri dari segala keriuhan di dunia luar sana. Just enjoy the lake!

Sebetulnya pilihan utama kami adalah Hotel Carolina yang memiliki scenic view dan pantai berpasir landai di tepi danau Toba. Namun apa daya, hampir seluruh kamar hotel di Danau Toba saat itu fully-booked. Maklum, kedatangan kami bersamaan dengan sedang dilaksanakannya Lake Toba Eco Sport Festival III” dan liburan panjang. Kami pun memutuskan untuk beristirahat sejenak seraya membasuh diri setelah menempuh perjalanan panjang dari Jakarta.

19.30 - Setelah menyegarkan diri, tubuh ini serasa tak ingin berlama-lama berada di kamar hotel untuk segera mengeksplorasi kawasan Tuk Tuk. Untuk makan malam kami memilih bersantap di restoran Rumba, restoran yang menyajikan pizza TERBAIK di Indonesia. Terbaik? Ya, terbaik. Bukan hanya di Tuk Tuk, Danau Toba, atau se-Sumatera Utara, tapi, ya, terbaik di Indonesia. Kata-kata mungkin tak cukup menggambarkan kelezatan pizza tersebut. Lelehan keju di atasnya, kerenyahan roti tipis a la pizza di Eropa dipadu topping segar benar-benar membuat air liur tak terkendali. Pemilik restoran ini adalah seorang wanita penduduk asli Danau Toba yang bersuamikan seorang berkebangsaan Swiss, yang menurunkan ilmu membuat pizza lezat tersebut.

Dengan harga sekitar Rp.30.000, pengunjung dapat merancang sendiri pizza dengan topping yang diinginkan. Kami memilih pizza beef + mushroom + onion, pizza tuna + pineapple, fish & chips ditemani segelas bir dingin. Paduan yang serasi!! Turis lokal dan asing berbaur memadati seluruh 7 meja yang terdapat di restoran Rumba. Cuaca sejuk khas pegunungan, semilir angin yang membawa aroma air danau, pizza lezat, segelas bir dingin, musik khas Batak yang mengalun dari sound system restoran.. What a Life!!

21.30 - Meskipun hati ini terasa berat untuk meninggalkan restoran, tubuh ternyata sulit diajak kompromi. Reaksi kimia dan psikologis yang ditimbulkan oleh paduan makanan lezat dan alunan musik benar-benar membuat mata ini terasa berat. Ah, serasa tak ingin waktu cepat berlalu. Kami pun memutuskan untuk kembali ke hotel untuk menyiapkan fisik karena masih banyak yang akan dilakukan keesokan harinya. Good night, and sleep tight!

Sabtu, 2 Juni 2007

06.30 - Matahari pagi menyeruak dari sela jendela kamar yang tak tertutup tirai. Deburan ombak air danau yang memecah dermaga di bibir pantai penginapan menjadi alarm yang menandakan bahwa kami harus segera bangun untuk menikmati Danau Toba di pagi hari. Begitu pintu kamar terbuka, kami disuguhi pemandangan yang tak akan terlupakan. Hamparan danau yang luas terhampar bak permadani tepat di depan kamar. Udara pagi terasa bersih saat kuhirup perlahan-lahan melewati rongga hidung, tenggorokan, terus masuk ke paru-paru dan menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh darah. Pantulan sinar matahari di permukaan danau nan indah, terasa menyegarkan, benar-benar terlupakan segala hiruk pikuk di Jakarta.

07.00 - Air danau terasa sejuk, tidak terlalu dingin, ketika kucelupkan kaki ke dalam air danau. Sontak seluruh badan secara otomatis, tanpa terkontrol, otak menginstruksikan untuk menceburkan diri ke dalam danau. Tenang…manghanyutkan…menyegarkan!!!


08.00 - Sarapan nasi dan mie goreng plus teh hangat disajikan di teras kamar, tepat di pinggir pantai. Setelah puas berenang di danau terbesar di Asia Tenggara tersebut, dilanjutkan mandi air hangat di kamar hotel, perut pun tak bisa diajak kompromi. Seluruh porsi makanan ludes dalam waktu singkat, meskipun rasa yang ditawarkan tak bisa dibilang spesial.

09.00 - Kami mulai bergerak menyusuri kawasan Tuk Tuk untuk melihat-lihat berbagai kerajinan khas Batak yang dijajakan di sepanjang jalan. Sayang, satu toko yang menjadi target incaran kami, Populo, belum buka. Kami pun memutuskan untuk tidak membuang waktu dan mulai bergerak ke desa Ambarita untuk mengunjungi objek wisata Huta Siallagan.




09.30 - Kami tiba di Ambarita, lokasi objek wisata “batu pengadilan”. Setelah membayar retribusi kompleks wisata sebesar Rp. 2000 / orang (yup, Rp. 2000), dengan dipandu seorang guide kami berkeliling lokasi desa tradisional dimana raja-raja Batak terdahulu tinggal. Di desa inilah terdapat mekanisme pengadilan kuno. Terdakwa sebelum diadili dipenjara di Schand Blok (pemasungan) untuk kemudian dijatuhi hukuman maksimal penggal. Bagi para shopping-mania, di desa ini juga terdapat puluhan toko souvenir yang menjual pernak-pernik Danau Toba. Tapi awas, beberapa penjual sangat agresif terutama terhadap turis non-Sumatera (Jakarta, Jawa, Malaysia), dan tak segan mengomel jika kita tidak jadi membeli. Intinya, jangan mudah terpancing dengan rayuan. Teliti sebelum membeli, dan tawar ½ harga!!


10.30
- Berhubung kami mengejar Ferry pukul 13.00, kami tidak berlama-lama di Huta Siallagan dan langsung menuju Huta Bolon Simanindo untuk menonton pertunjukan tari khas batak yang menampilkan patung kayu “Sigale-gale”. Tiket di lokasi wisata ini cukup mahal, Rp. 30.000/orang. Tapi hal itu tentu tidak menjadi masalah, mengingat kita juga harus mengapresiasi kesenian bangsa sendiri, bukan? Tempat ini sudah sangat well-established dan well-prepared untuk menyambut turis-turis mancanegara. Buktinya mereka menyediakan lembar informasi pertunjukan dalam berbagai bahasa seperti Inggris, Belanda, Perancis, Jerman, Italia, Spanyol, dan Cina.

Sesi atraksi tarian ini juga dibuat atraktif dengan mengundang wisatawan untuk ikut menari bersama. Sebagai penutup, ditampilkanlah tarian Sigale-gale. Alkisah sigaale-gale adalah nama sebuah patung yang terbuat dari kayu yang berfungsi sebagai pengganti anak raja Samosir yang telah meninggal. Untuk menghibur raja maka dibuatlah patung kayu yang di beri nama sigale-gale dan di gerakkan oleh manusia. Pertunjukan berakhir pukul 11.30. Tak terasa waktu berjalan sangat cepat. Kamipun tak memiliki waktu banyak, sehingga kami melewatkan museum dan replika kapal kayu kuno yang sering digunakan oleh penduduk Toba ratusan tahun yang lalu.

12.30 - Mobil sewaan yang kami tumpangi memasuki pelabuhan Tomok. Kapal Ferry Tao Toba II yang akan membawa kami kembali ke kota Parapat telah berlabuh. Satu persatu kendaraan berjalan pelan masuk ke dalam lambung kapal seiring pikiran yang menerawang menikmati keindahan alam semula jadi yang ditawarkan kawasan ini. Sampai jalan, Pulau Samosir…


Read more!

PC GAMES

Just upgraded my old PC into this:

AMD Sempron 2600+ (due to limited financial capability, can’t afford the dual core)

160 GB Harddisk

1,50 GB RAM (the acceleration is massive!)

Nvidia GeForce 7600GT (It’s the most affordable card for gamers, though)

And now I can sit relax and enjoy the beautiful scene of the latest PC Games. Recently I installed many of them, namely S.T.A.L.K.E.R, Tom Clancy’s Splinter Cell Double Agent, Tom Clancy’s Ghost Recon Advanced Warfighter, Tom Clancy’s Raibow Six Las Vegas (Ooooh…I love Tom Clancy’s series), Microsoft Flight Simulator X, Just Cause, Condemned: Criminal Origins, and Fahrenheit.

Just finished few of them:


- Tom Clancy’s RSLV - Great teamplay, since my dead partners will be replaced in the next mission =)







- Just Cause - another version of Grand Theft Auto in the middle of a tropical island. You can hack a motorcycle, car, truck, tank, boat, chopper, cargo aircraft, and even a jet fighter! Many awesome stunt actions like parachuting from the top of a hill. Nice unlimited environment.








Not yet finished:

- S.T.A.L.K.E.R - I’m not used to play a non-linear game. Here you are free to decide your mission. I’m just playing it for about 15 mins and getting confused about the storyline. Need some times to learn about this game again. However, the graphic is stunning, especially the leaves and the radioactive effects.











- Tom Clancy’s SCDA - This one will be my target to be finished soon. I’m in the middle of Level 4 now (Okhotsk-Rublev). Since this is my first time playing SC series, my learning curve took about an hour (without training, just go into the mission).










- Tom Clancy’s GRAW - been playing it for some times now, and I’m stuck in Level 8!!! I’m running out of ammo, and surrounded with soooo many Mexican rebels. Gosh!








- Microsoft Flight Simulator X - just for fun. There are also many Indonesian airports in this game. However this game requires a super-duper high-end machine, in which mine also can’t run it smoothly.











- Condemned: Criminal Origins - This game is so scary. I can’t resist to play it alone after the sunset. Probably the scariest game I’ve ever played. I’m just playing it on Saturday / Sunday morning. No wonder it takes me so long to finish it.










- Fahrenheit - Great gameplay. Just like watching a movie. You can switch character, decide your own Q&As, fight the bugs in the nightmare, or just enjoy that romantic conversation followed by a woo-hoo.


Read more!

Monday, June 04, 2007

Irresponsible AirAsia

Irresponsible AirAsia

Your Letters, The Jakarta Post - June 08, 2007

My dream to have an astonishing holiday -- just like the “go holiday" motto -- was ruined by Indonesia AirAsia on Sunday, June 2, 2007. I was a passenger on Medan-Jakarta flight QZ 7507 ETD 7:05 p.m. (boarding time 6:35 p.m.). But the flight was delayed to 8:10 p.m., then another delay to 8:50 p.m. Finally we were allowed to board the aircraft and took off at 9:10 p.m.

We landed at Soekarno-Hatta airport at 11:30 p.m. After 30 minutes of waiting, my baggage as well as the bags of about 40 other passengers did not manage to arrive. One of the AirAsia ground staff, R, dissatisfied the irritated passengers by saying that our baggage would be brought on the next AirAsia flight (QZ 7505, ETA 11:50 p.m.). He said our plane had been overweight, so the bags were taken on another flight, though AirAsia did not give prior notification before we boarded the aircraft.

The solution offered by AirAsia management -- fill out a Property Irregularity Report (PIR) form -- did not seem to solve the inconvenience felt by the passengers since it could not assure when our belongings will arrive.

When we finally claimed our luggage the next day (Monday, June 4, 12:30 a.m.), none of the AirAsia ground staff expressed any apology to the passengers.

AirAsia has to bear in mind that passengers' rights are protected under Law No. 8/1999 on consumer protection, which states that passengers have the right for their opinions and complaints about services to be listened to.

AirAsia has the obligation to provide correct, clear and honest information about the condition and guarantee of services, and treat and serve passengers correctly and honestly.

WIDYA AIRLANGGA
Bogor, West Java

AirAsia responds

Your Letters, The Jakarta Post - June 08, 2007

With regard to the letter by Widya Erlangga forwarded to us by The Jakarta Post on June 4, we would like to apologize for any inconvenience when you were flying with us on Medan-Jakarta flight QZ-7507, on June 3.

On your flight, we had to off-load some of the baggage because the total passenger and baggage load was over the capacity of the aircraft. We did not purposely off-load some of the baggage; we had to do it according to standard safety regulations. Unfortunately, your baggage was one of the off-loaded items.

All the off-loaded baggage was delivered on the following flight which left Medan at 3:35 a.m. and arrived in Cengkareng at 5:45 a.m. That is why we only sent it to you a day after your flight.

We also apologize that our staff did not respond politely to your case. For us, our guests are very precious and we will do the best for them so that they will feel safe and comfortable flying with us.

Thank you so much for your letter and we will improve our service in the future.

RYANA YAHYA NASUTION
Senior Executive Corporate
Public Relations
AirAsia
Jakarta


Read more!