Get my banner code or create your own banner

Go Blog!!!

The journey of a thousand miles begins with one step - Lao Tzu (600 BC-531 BC)

Wednesday, June 27, 2007

Lagi-lagi...

Kisruh moda transportasi kembali terjadi lagi di ibukota. Kali ini pengguna mobil pribadi sebagai konsumen jalan raya menjadi korban pertikaian antara Dinas Perhubungan DKI Jakarta dan Polisi. Tidak perlu kembali diceritakan detil kejadian yang terjadi tanggal 25 Juni yang lalu. Yang pasti, semua pihak kemudian saling menyalahkan. Polisi menyalahkan Dishub, Dishub menyalahkan pengguna mobil pribadi, dan pengguna mobil pribadi menyalahkan keduanya.

Sebagian orang kemudian kembali mempersoalkan pembangunan jalur bus khusus (baca: busway) yang selalu menuai kontroversi, bahkan jauh sebelum dibangun. Busway kerap dituding memperparah kemacetan karena dibangun dengan mengambil lajur yang sebelumnya telah ada, bukan menambah lajur baru. Saat ini saja kendaraan pribadi di Jakarta mencapai 4,5 juta, belum ditambah sekitar 600.000 kendaraan komuter di jam-jam sibuk yang datang dan pergi dari dan ke daerah satelit Jakarta (Bekasi, Bogor, Tangerang, Depok, dsb).

Kembali ke kontroversi Busway, sangat menarik diskursus yang berkembang dalam menyikapi pro kontra “produk” Bang Yos ini. Satu pihak setuju dengan alasan Polisi memperbolehkan kendaraan pribadi melintasi lajur Busway, lain pihak membela Dishub dengan mengatakan bahwa kalau tidak mau macet, ya gunakan Transjakarta.

Namun ada satu hal yang menggelitik benak, yaitu yang mengatakan bahwa sebagai pengguna kendaraan pribadi, yang rutin membayar pajak kendaraan bermotor, selayaknyalah mendapatkan fasilitas berupa penggunaan lajur jalanan ibukota. Menurut saya ini merupakan buah “orde baru” yang kita petik hari ini, yaitu “asal bayar” seluruh jalan pintas boleh kita pakai. Sama seperti pengguna jalan tol yang -- karena merasa sudah bayar -- tak pernah kapok mendahului kendaraan lain dari bahu jalan.

Pajak atas kendaraan bermotor semata-mata dilihat sebagai prasyarat atas hak penggunaan dan penguasaan penuh kendaraan yang kita miliki, sehingga pengguna kendaraan pribadi merasa berhak menggunakan setiap milimeter jalanan ibukota, beraspal maupun tidak.

Pajak atas kendaraan bermotor belum dilihat sebagai bentuk pembatasan Pemerintah akan laju pertumbuhan penjualan kendaraan bermotor. Faktanya, saat ini tingkat pertumbuhan penjualan mobil baru di Jakarta per hari (baca: 1 x 24 jam!) mencapai sekitar 300 mobil atau dengan hitungan kasar 109.500 mobil per tahun. Seperti dikutip dari Pusat Data & Analisa Tempo berdasar penelitian yang pernah dilakukan Japan International Corporation Agency (JICA) dan The Institute for Transportation and Development Policy (ITDP), pertumbuhan kendaraan di Jakarta rata-rata per tahun mencapai 11% sedangkan pertumbuhan panjang jalan tak mencapai 1%!

Di Indonesia, pajak atas pembelian mobil baru hanya sebesar 21,5%. Sebagai bahan pembanding, di Australia pajak atas mobil baru berkisar antara 22 - 45%, tergantung tipe mobil. Sungguh suatu angka yang tentu akan membuat siapapun berpikir seribu kali untuk membeli mobil baru. Asumsinya, dengan jumlah pajak yang sangat besar yang harus dibayar, warga Australia seharusnya berhak atas penggunaan jalan raya yang lebih besar. Nyatanya, warga Melbourne (I was there once) tetap lebih memilih tram / kereta / bus sebagai moda transportasi sehari-hari. Warga Melbourne tidak mengeluh karena sebagian jalan untuk kendaraan pribadi mereka tergusur oleh jalur tram.

Memang naif jika membandingkan kualitas moda transportasi di luar sana dengan di Jakarta. Namun hendaknya kita tidak semata-mata menyalahkan Busway yang sudah “terlanjur” jadi ini. Jika dikatakan bus Transjakarta tidak pernah on-time dan frekwensi kedatangannya kacau, mungkin perlu ditinjau apakah ada lajur yang “mampet” akibat kendaraan pribadi yang masuk lajur Busway?

Meskipun saat ini saya masih berstatus pengguna kendaraan pribadi yang setiap hari menghabiskan waktu minimal 3 jam di jalan (a.k.a 45 hari per tahun), saya merasa tidak punya pilihan lain untuk menyambangi kantor. Saya hanya bisa berharap rencana integrasi Busway dengan daerah satelit Bogor Tangerang Bekasi dapat segera direalisasikan bersamaan dengan rampungnya ke-15 lajur Busway. Jika hal itu terjadi, tanpa ragu saya akan beralih menggunakan transportasi umum.



1 Comments:

Anonymous Anonymous said...

Masalah busway, ga ada feeder, banyak persoalan di lapangan, mobil pribadi masuk ke jalur buswaylah, busway masuk ke jalur umumlah (banyak kejadian cooy), de el el de el el. Intinya, kebijakan itu janganlah dibuat dengan orientasi kejar target semata (seperti kesan yang ditimbulkan selama ini), namun pikirkan segala dampaknya. Yang terjadi sekarang, segala jalan (kalo bisa) dibangun busway. Alasan: agar masyarakat dapat menggunakan sarana transportasi umum yang efisien dan murah. Kenyataannya? efisiensi (yang belum terbukti) di satu sisi dibarengi dengan kerugian luar biasa di sisi lain. Resistensi masyarakat sebenarnya masih terlihat, bahkan bagi masyarakat yang (sepertinya) mendukung busway sekalipun. Apa gunanya mendukung busway jika kita sendiri tidak menggunakannya? Akhirnya tetap, mobil pribadi masih memenuhi jalanan jakarta.

Pendapat orang tentang haknya sebagai pengguna jalan karena dia merasa telah membayar pajak merupakan hal yang wajar. Sewajar penolakan pengguna motor yang (dulu sempat akan) dilarang masuk Thamrin. Siapa sih yang ga dongkol jika jalur reguler yang biasa dilalui dengan lancar ato sedikit macet, mendadak menjadi macet banget gara2 ada busway? Kenekatan pemproc DKI dalam membuat orang frustasi kan ada harga yang harus dibayar to?

Kebijakan yang tidak dibarengi dengan pembenahan di berbagai bidang, apalagi tanpa analisa dampak lingkungan dan sosial, tentunya akan mengundang kecaman bagi yang merasa dirugikan, walaupun banyak juga yang merasa diuntungkan. Apakah harus ada yang mengalah?? Iya..Bang Yos kali..hehehe

Wednesday, June 27, 2007 7:09:00 PM  

Post a Comment

<< Home