Get my banner code or create your own banner

Go Blog!!!

The journey of a thousand miles begins with one step - Lao Tzu (600 BC-531 BC)

Wednesday, March 29, 2006

Sakit Sampah

Berkendara di tengah kemacetan lalu-lintas Jakarta di pagi hari benar-benar merupakan waktu yang pas untuk saya merefleksikan berbagai realitas soial yang ada di sekeliling. Seperti pagi ini misalnya (Rabu, 29 Maret 2006), salah satu radio mengetengahkan topik yang cukup menarik, pencemaran lingkungan. Dengan dibungkus banyolan-banyolan segar sang pembawa acara, sindiran-sindiran dengan canda tersebut justru sesungguhnya merupakan kritik pedas atas perilaku sakit masyarakat ibukota.

Mengapa saya mengatakan masyarakat yang sakit? Arie Dagienk dari radio Prambors yangs sedang saya dengarkan menceritakan kisahnya yang melihat dengan mata kepala sendiri pengemudi mobil-mobil dengan harga di atas 200 juta membuang sampah seenaknya, bahkan di jalan tol tercinta yang tiada bebas hambatan itu. Seorang penelpon bahkan berkata dirinya pernah melihat pengemudi Mercedes Benz meludah permen karet ketika sedang melaju di jalanan. Itu hanya segelintir maslah dari problem makro kesadaran menjaga lingkungan negeri ini.

Pemerintah memiliki UU no. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Secara eksplisit pasal-pasal di dalamnya mengatur tentang bagaimana mencegah pencemaran lingkungan, termasuk membuang sampah di tempat umum, dengan ancaman sanksi pidana kurungan hingga denda ratusan juta rupiah. Kenyataannya? Pernahkan kita melihat seseorang ditangkap polisi karena membuang botol kosong air mineral? Pernahkah kita mendengar seseorang membayar denda 100 juta rupiah karena membuang sampah rumah tangga di tanah kosong di sebelah rumahnya?

Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang pasrah yang sukanya hanya mengikuti trend pasar. Masyarakat pasrah jika tiap tahun banjir melanda akibat kali Ciliwung mampet akibat sampah. Masyarakat sukanya mengikuti trend membuang sampah sembarangan jika melihat orang di sebelahnya membuang bungkus rokok di trotoar. Namun fakta di lapangan mendukung pengotoran bangsa. Maukah kita menenteng-nenteng sampah nasi bungkus karena sejauh mata memandang tidak dapat menemukan tempat sampah? Pernahkah kita menghitung berapa banyak tempat sampah yang tersedia di tempat-tempat publik, seperti trotoar indah sepanjang jalan Thamrin? Atau jangan-jangan bahkan tidak ada tempat sampah yang bisa kita hitung?

Mungkin anggota DPR RI yang terhormat dapat merevisi RUU APP, maksud saya merevisi kepanjangan APP menjadi Anti Pencemaran dan Pengotoran, daripada sekedar meributkan bokong siapa yang lebih seksi. Siapa tahu dengan RUU Anti Pencemaran dan Pengotoran selain mampu membersihkan lingkungan juga mampu membersihkan segala kekotoran pikiran, sehingga masyarakat yang sakit dapat kembali berpikiran jernih...


-69-

Read more!

Wednesday, March 08, 2006

Arogansi Ananda Mikola

Membaca artikel tentang Ananda Mikola (Kompas Minggu/….) sungguh tidak membuat saya bersimpati terhadap perjuangannya untuk finis ke-14 dari urutan paling belakang setelah tikungan pertama balapan A1 di Sentul beberapa waktu yang lalu. Saya merupakan penggemar olahraga adu kecepatan, meski bukan pakar di bidang telemetri, namun saya cukup paham bahwa untuk menjadi pemenang tidak berarti harus memiliki data statistik terbaik. Renault meraih gelar Juara Dunia F1 2005 dengan mobil yang kalah kencang dengan MP4-20 yang dikemudikan Kimi Raikkonen. Michael Schumacher beberapa kali mencatat waktu tercepat namun penampilannya jeblok. Jenson Button meraih pole position pertamanya di tahun 2005 namun tidak mencatat satu pun kemenangan.

Pernyatan Ananda bahwa saat ini tidak ada pembalap Indonesia selain dirinya yang layak mengemudikan mobil Dallara tersebut sunguh membuat saya tersenyum kecut. Beginikah potret idola masyarakat Indonesia yang rela mengantri berjam-jam untuk menyaksikan Nanda terperosok ke gravel di tikungan pertama saat feature race? Orang awam juga tahu bahwa hasil akhir yang menentukan, bukan sekedar data statistik yang tidak menarik bahkan bagi saya yang menonton langsung balapan dari Grandstand sirkuit Sentul. Harus saya akui bahwa terkadang upaya keras memang harus dibarengi dengan good luck, namun menyalahkan keberuntungan semata merupakan naif yang selama ini sangat sering kita dengar dari insan olahraga di negeri ini. Kapan kita mau mengakui bahwa lawan lebih baik dari kita? Kapan kita mau mengakui bahwa kita telah melakukan kesalahan yang berbuah kekalahan?

Ananda boleh berkata bahwa dirinya lebih kencang dari Alex Yoong, namun dunia telah menyaksikan kegembiraan Yoong dengan bangga berdiri menatap puluhan ribu pendukung Nanda di atas podium hari Minggu itu.

Read more!