Arogansi Ananda Mikola
Membaca artikel tentang Ananda Mikola (Kompas Minggu/….) sungguh tidak membuat saya bersimpati terhadap perjuangannya untuk finis ke-14 dari urutan paling belakang setelah tikungan pertama balapan A1 di Sentul beberapa waktu yang lalu. Saya merupakan penggemar olahraga adu kecepatan, meski bukan pakar di bidang telemetri, namun saya cukup paham bahwa untuk menjadi pemenang tidak berarti harus memiliki data statistik terbaik. Renault meraih gelar Juara Dunia F1 2005 dengan mobil yang kalah kencang dengan MP4-20 yang dikemudikan Kimi Raikkonen. Michael Schumacher beberapa kali mencatat waktu tercepat namun penampilannya jeblok. Jenson Button meraih pole position pertamanya di tahun 2005 namun tidak mencatat satu pun kemenangan.
Pernyatan Ananda bahwa saat ini tidak ada pembalap Indonesia selain dirinya yang layak mengemudikan mobil Dallara tersebut sunguh membuat saya tersenyum kecut. Beginikah potret idola masyarakat Indonesia yang rela mengantri berjam-jam untuk menyaksikan Nanda terperosok ke gravel di tikungan pertama saat feature race? Orang awam juga tahu bahwa hasil akhir yang menentukan, bukan sekedar data statistik yang tidak menarik bahkan bagi saya yang menonton langsung balapan dari Grandstand sirkuit Sentul. Harus saya akui bahwa terkadang upaya keras memang harus dibarengi dengan good luck, namun menyalahkan keberuntungan semata merupakan naif yang selama ini sangat sering kita dengar dari insan olahraga di negeri ini. Kapan kita mau mengakui bahwa lawan lebih baik dari kita? Kapan kita mau mengakui bahwa kita telah melakukan kesalahan yang berbuah kekalahan?
Ananda boleh berkata bahwa dirinya lebih kencang dari Alex Yoong, namun dunia telah menyaksikan kegembiraan Yoong dengan bangga berdiri menatap puluhan ribu pendukung Nanda di atas podium hari Minggu itu.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home